Sabtu, 12 Februari 2011

TEORI-TEORI EMOSI

1. Teori James-Lange

Teori ini dicetuskan oleh dua orang yaitu William James dari Amerika Serikat dan Carl Lange dari Denmark. Carl Lange (dalam Sarlito, 2000:85-86) mengemukakan bahwa emosi identik dengan perubahan-perubahan dalam sistem peradaran darah. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh James dengan mengatakan bahwa emosi adalah hasil persepsi sesseorang terhadap perubahan-perubahanyang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Teori ini menekankan emasi sebagai respon dari perubahan faali yang terjadi pada dirinya. Contoh tentang teori ini sebagai mana yang dijelaskan oleh Atkinson:
Bila Anda tiba-tiba terjerembab di tangga, secara otomatis Anda akan berpegang pada pegangan tangga sebelum Anda sempat menyadari adanya rasa takut. Setelah saat kritis itu berlalu, emosi Anda akan terasa dengan adanya persepsi terhadap jantun yang berdebar keras, napas yang terengah-engah, dan perasaan lemas atau gemetar pada tangan dan kaki. Karena perasaan takut terjadi setelah respon badani, situasi semacam ini membuat teori ini masuk akal.
Dapat disimpulkan bahwa teori James-Lange menempatkan aspek persepsi terhadap respon fisiologis yang terjadi ketika ada rangsangan datang sebagai pemicu emosi yang dialami oleh manusia. Perubahan-perubahan fisiologis itu diterjemahkan menjadi emosi. Pertanyaan mendasar terhadap teori adalah bahwa dalam kenyataan sehari-hari terjadi perubahan fisiologis yang sama, tapi emosi yang dialami berbeda. Misalnya tentang berdebarnya jantung seseorang, jantung akan berdebar ketika kita bertemu dengan harimau, jantung juga akan berdebar ketika kita bertemu dengan orang yang kita kagumi. Tapi dari kedua kedaan itu emosi yang terjadi berbeda. Jadi apakah berdebarnya jantung itu pasti memunculkan rasa takut? Pertanyaan inilah yang meman cing penolakan teori James-Lange. Tokoh yang sangat menentang teori ini adalah W. B. Cannon yang kemudian menyusun teori baru yang bertolak belakang dengan teori James-Lange. Kemudian Philip Bard ikut mendukungnya.
2. Teori Cannon-Bard
Teori Cannon-Bard hendak menjeleskan bahwa perssepsi terhadap obyrk yang dapat menimbulkan emosi diproses secara simultan oleh dua instansi yakni sistem syaraf otonom dan cerebal cortex. Degup jantung bulu roma berdiri, aau nafas berat terenga-engah terjadi bersamaan dengan emosi takut. Jadi emosi dengan perubahan fisiologis terjadi secara simultan. Jadi menurut teori ini tidak mungkin terjadi perubahan faali yang menyebabkan munculnya emosi sebagaimana deskripsi teori James-Lange.
Melihat dari dua teori diatas maka kita dapat melihat bahwa kedua teori diatas adalah bertentangan.sehingga Atkinson menanggapi tentang masalah ini: pengalaman sadar kita tentang emosi melibatkan integrasi informasi tentang keadaan fisiologi tubuh dan informasi tentang situasi yang membangkitkan emosi. Kedua macam informasi itu cenderung berkesinambungan dalam waktu, dan integrasinya menentukan intensitas serta sifat keadaan emosional yng kita rasakan. Dalam kerangka konseptual ini, perbedaan waktu yang dibuat oleh teori James-Lange dan Cannon-Bard tidak terlalu berarti. Pada saat tertentu, seperti bila tiba-tiba orang berada dalam keadaan bahaya, tanda-tanda awal pengalaman emosional dapat didahului oleh aktifitas otonom (dalam hal ini, James-Lange yang benar). Pada kesempatan lain, kesadaran akan adanya emosi jelas-jelas mendahului aktifitas otonom (dalam hal ini, Cannon-Bard yang benar). Dengan demikian, kedua teori ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan karena sama-sama bisa terjadi dalam kehidupan manusia.

3. Teori Shachter-Singer
Teori emosi yang menempatkan kognisi pada posisi yang sangat menentukan dikembangkan oleh Stanley Schachter dan Jerome Singer. Mereka meyakini bahwa emosi merupakan fungsi interaksi antara faktor kognitif dan keadaan keterbangkitan fisiologis. Setiap pengalaman yang membangkitkan emosi akan diberi label di dalam peta kognitif. Label-label itu kemudian dijadikan pola bagi pengalaman-pengalaman baru. Setiap stimulus yang diterima akan dinilai berdasarkan label yang telah tersimpan.
Teori Schacher-Singer sering pula disebut two-factor theory of emotion, karena teori ini didasarkan pada dua hal yang terjadi, yakni perubahan fisiologis dan interpretasi kognitif.
Alur teori Schachter-Singer dapat dijelaskan sebagai berikut: Dimulai dari stimulus yang diterima dari luar kemudian memicu terjadinya perubahan fisiologis dalam tubuh. Selanjutnya terjadi persepsi dan interpretasi terhadap keterbangkitan itu pada situasi khusus yang sudah dikenal dari informasi dan pengalaman yang sudah tersimpan sebelumnya, kemudian terjadilah emosi yang bersifat subyektif.
Teori Schachter-Singer tak luput dari kritik. Dalam pengalaman sehari-hari tidak selamanya orang terpengaruh pada tingkah laku orang lain. Atkinson menjelaskan bahwa pengalaman emosional tidak sesederhana yang dinyatakan oleh teori Schachter. Interpretasi emosional merupakan fungsi yang rumit dari pengalaman masa lampau dan situasi hidup masa ini. Yang bisa dikatakan adalah Bahwa “faktor kognitif mempengaruhi emosi, tetapi tidak benar bila disimpulkan bahwa hanya faktor ini yang menentukan emosi yang dialami.”
4. Teori- teori lain
Selain dari ketiga teori di atas, masih ada teori-teori lain yang layak dibahas. Diantaranya:
a. Teori Proses-berlawanan
Teori Proses-Berlawanan dikembangkan oleh Ridhard Solomon. Ia berpendapat bahwa otak manusia berfungsi memicu emosi. Dua emosi berlawanan, seperti senang dan tidak senang, akan selalu muncul dalam satu rentetan peristiwa. Jika emosi A terjadi kemudian disebut sebagai emosi primer, maka emosi B yang menjadi lawannya dan disebut sebagai emosi sekunder. Akan muncul pula hingga emosi turun kembali pada titik normal seperti sediakala. Otaklah yang terus-menerus berfungsi memelihara keseimbangan atau menjaga kondisi ekuilibrium itu.
Contoh dari teori ini adalah para penerjun payung amatiran akan merasa senang ketika berhasil mendarat dengan selamat. Senang merupakan lawan dari emosi takut yang dialaminya sebelum terjun hingga parasut mengembang. Setelah beberapakali terjun, rasa takut itupun berkkurang, tetapi rasa senang masih cukup kuat sehingga aksipenerjunan masih tetap dilakukan. Emosi takut adalah emosi primer, dan senang adalah emosi sekunder.
b. Teori Emosi-Motivasi
Emosi dan motivasi sering dijelaskan secara bersamaan atu seiring di dalam literatur karena kaitan anatrkeduanya memang sangat erat. Bahkan, salahsatu teori emosi menempatkan emosi sebagai rangkaian dari motivasi. Emosi dan motif adalah sama, dalam arti emosi merupakan bagian dari motif-motif (doronga-dorongan). Pakar psikologi yang berpendapat seperti ini adalah R.W. Leeper. Untuk menunjukkan hal tersebut, ia merujuk pada peran proses kognitif dalam emosi dan motif, dan tidak dianggap kognisi dan emosi sebagai hal yang dikotomis.
S.S. Tomkins mengemukakan bahwa emosi merupakan energi bagi dorongan-dorongan yang selalu muncul bersama. Ketika seorang anak merasa takut bencana kebakaran yang telah merembet ke rumah tetangganya, ia terdorong untuk lari menyelamatkan diri sambil menjinjing sebuah pesawat televisi keluar rumah dengan enteng saat itu. Jadi, menurut teori ini, emosi yang dirasakan akan memperkuat tambahan energi pada motivasi tingkah laku.

c. Teori Kognitif-Penilaian
Teori Kognitif-Penilaian adalah teori emosi yabg berbasis pada teori Kognitif seperti pada teori Schachhter-Singer. Bedannya hanya terletak pada penekanannya. Teori Schachter-Singer lebih menekankan pada kognisi, sedangkan teori ini lebih menekankan pada hasil penilaian atau evaluasi terhadap informasiyang datang dari situasi lingkungan yang terjadipada saat itu dan penilaian dari diri sendiri. Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Richard S. Lazarus. Untuk memahami teori ini ada baiknya kita cermati ilustrasi berikut:

Jika suatu saat anda dipanggil oleh satpam kampus, dan diberi tahu bahwa anda dipanggil oleh dekan fakultas sekarang juga, sementara sisatpam tidak tahu maksud panggilan, maka yang pertama terjadi adalah anda bertanya pada diri sendiri apa gerangan maksud panggilan itu. Apakah telah ada pelanggaran yang telah anda perbuat, atau aneka dugaan yang lain. Boleh jadi disertai emosi takut karena beberapa hari lalu ada mahasiswa yang diskors akibat perilaku yang disnggap menghina dosen. Dengan penuh tanda tanya, anda melangkah ke ruang dekan. Akan tetapi, ternyata andamendapatkan penghargaan karena prestasi anda dinilai menonjol dan ditawari beasiswa. Boleh jadi, kecemasan akan maksud panggilan yang tiba-tiba tadi berubah menjadi kegirangan.

Ilustrasi ini adalah penggalan contoh dalam kehidupan kita yang terus menerus berubah. Emosi cemas disertai dugaan penilaian yang dicari di dalam peta kognisi ketika mendapat panggilan yang tidak jelas maksudnya oleh dekan melalui satpam itu disebut appraisal. Sedangkan penilaian disertai emosi senang setelah mendapat penjelasan dari dekan, disebut reappraisal.
Karena, pada akhirnya pengalaman menunjukkan bahwa penilaian tidak selamanya benar atau keliru. Disamping itu, penilaian (appraisal) dan reappraisal sangat tergantung pada realitas lingkungan dan faktor-faktor kepribadian.

d. Teori Tiga Dimensi
Teori ini diperkenalkan oleh pendiri psikologi, Wilhelm Wundt di dalam bukunya Grundiriss der psychologie pada tahun 1896. Wundt menjelaskan bahwa terdapat tiga pasang kutub perasaan yang masing-masimg adalah: lust-unlust (senang-tidak senang), spannung-losung (tegang-tidak tegang) Erregung-beruhigung (kutub semangat-tenang).

Teori ini menjelaskan bahwa setiap emosi yang dialami manusia mempunyai tiga dimensi yang bergerak pada salah satu kutub yang berlawanan. Jika seseorang takut pada ular, maka emosi yang muncul adalah unlust, spannung, dan erregung. Seorang ibu yang sembahyang tahajjud di malam hari, maka emosi yang mungkin menyertainya adaah lust, losung, beruhigung. Demikian seterusnya terjadi pada setiap emosi yang dirasakan, yaitu selalu muncul tiga dimensi dari dua kutub yang berlawanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar